Agar terkesan serius dan menunjukkan bahwa ada studio mini di sekolah, dua buah papan triplek sebagai backdrop berdiri megah dengan tampilan nama madrasah kami


Aroma debu, kumuh dan lusuh menghambur seketika saat pintu terbuka. Baru saja selangkah kaki kanan menginjakkan lantai bermarmer putih yang mulai kusam, sekelebat hewan pengerat khas penunggu ruang tak berpenghuni menyeruak susuri sekat-sekat kayu dengan cepat. “Astaghfirullah. Hush! Hush!” Teriakku mengusirnya yang juga terkejut sekaligus marah telah mengganggu tidur paginya.
Surprise kawan! Ini kali pertama kami masuki ruang kelas, setelah hampir empat bulan ia menyepi sendiri. Tampak anak kunci dalam genggaman enggan dan berontak saat berkelindan dengan gembok pintu. Padahal, dulunya mereka adalah sahabat sejati. Bisa dikatakan pasangan sehidup semati. Tiap pagi sebelum anak-anak tiba ke sekolah, mereka berdua sudah hadir lebih dahulu. Pun pulang paling akhir, memastikan tak ada lagi Bapak dan Ibu guru lembur mengoreksi tugas siswa.
Tak ingin larut dalam kenangan masa yang belum lama berlalu sesungguhnya, segera lima jendela kaca kubuka agar udara pagi dapat segera menerabas masuk segarkan ruangan ini. Lagi-lagi kelima saudara kembar ini berulah. Seperti sudah nyaman tidur lama, berontak satu persatu dengan teriakan berdenyit. Body-nya pun tak lagi kekar saat baru pertama kali di pasang. Gemetaran saat besi penyangga dipasang, hingga isi tubuh yang berguguran akibat jadi kudapan rayap. Pokoknya, setali tiga uanglah nasibnya dengan daun pintu.
Kini pandanganku tertegun ke lantai, pada ubin putih berukuran identik persegi. Biasa aku bersama siswa menjadikannya sumber pembelajaran matematika. Kini, tak terhitung kotoran cicak berhamparan. Malas aku menghitung sebenarnya. Maka kutuliskan saja tak terhitung. Jangan lagi kalian bertanya atau menyuruhku men-tally-nya satu per satu. Pokoknya jelas, tak terhitung.
Kulirik jam tangan, “Oh, masih satu jam lagi. Bu Eni!” panggilku pada pesuruh sekolah.
“Iya, Pak Syabar, ada apa?” jawabnya sambil tutupi napas yang ngos-ngosan. Ia tengah menyapu di depan teras sekolah.
“Minta tolong, ruangan ini di sapu ya.” Pintaku.
Ibu tiga anak yang sudah lima tahun menjadi bagian kebersihan sekolah ini mengangguk paham. “Baik, Pak.”
Ruang kelas sudah kinclong sekadarnya. Kuposisikan sebuah meja belajar siswa menghadap pada jendela, agar cahaya mentari pagi bisa menerpa. Kursi sofa empuk berwarna merah turut hadir menambah kesan anggun dan elegan. Walaupun sebenarnya ia tak pas berada di ruang ini. Satu meja lagi di letakkan menyamping membentuk huruf L dengan meja pertama.
Dua laptop sekolah tersimpan rapi di atas masing-masing meja. Sebuah tiang tripod dan gawai milikku terpasang untuk merekam. Microphone kecil sebagai pelengkap agar suara teman-teman guru jernih terdengar oleh siswa dari rumah nantinya. Tak ketinggalan terminal listrik yang jadi sumber nyawa.
Agar terkesan serius dan menunjukkan bahwa ada studio mini di sekolah, dua buah papan triplek sebagai backdrop berdiri megah dengan tampilan nama madrasah kami. Tulisan besar lagi mencolok ‘Man Jadda wa Jada’ dan ‘Madrasah Hebat Bermartabat’ terpampang. Ingin tunjukkan keseriusan kami menggelar siaran langsung perdana pembelajaran jarak jauh hari ini.
Klik! WiFi berlomba menyala kedap kedip, sinyal berbaris sombong gagah perkasa. Aplikasi live streaming youtube siap beroperasi. Jam di pojok laptop sudah tunjukkan lima belas menit menuju jam delapan. Kulirik layar hape, cepat dan sigap respon anak-anak begitu link youtube video pembelajaran menyebar lepas subuh tadi. Tang, Ting, tung bunyi notifikasi pesan WhatsApp masuk. Foto anak-anak berseragam sekolah yang sudah cantik dan ganteng sambil selfie dengan hape-nya masuk ke grup kelas. “Orang tua siswa atas nama Ardi kelas 7 hadir”.
Sepuluh menit jelang on-air. Wajah pucat selimuti Bu Muthie. Sudah habis sebungkus tisu untuk mengelap keringat yang bercucuran di keningnya.
“Eh, eh, Bu. Itu kain lap!” sergahku saat tangannya ingin menggapai kain di atas meja yang dikiranya sapu tangan.
“Duh, Pak Syabar, mau ngomong apa nanti ya?” ujarnya.
“Biasa saja, Bu. Seperti saat mengajar di kelas.” Jawabku berusaha menenangkannya. Ia terlihat gugup dari gestur tubuhnya. Maklum, ini perdana.
Berjalan seperempat jam, kembali kutatap layar laptop di meja operator. Bu Muthie lancar jaya, sukses jadi guru youtuber. Silih berganti anak-anak mengabsen dirinya di kolom chat. Asal sudah ketik nama, kelas dan hadir, sah lah mereka masuk kelas daring hari ini.
Di pintu depan, guru-guru yang punya jadwal mengajar hari ini sudah pasang tampang keren. Dandan rapi nan elok yang tidak akan kita temukan saat belajar tatap muka sekalipun. Sengaja kusiapkan cermin di pintu. Dan benar saja, sampai harus booking untuk bisa berdiri tegap melirik-lirik wajah sendiri.
Huh! Teriak keras Pak Nanang. Bukan sedang kesal, itu caranya menghilangkan kegugupan sambil menggerak-gerakkan tubuh atletisnya. Maklum, ia guru olahraga.
“Hari ini saya ngajar materi bulu tangkis, Pak Syabar.” ucapnya.
Guru kedelapan telah mengucapkan salam penutup. Jemariku beri kode agar Pak Nanang bersiap di posisinya.”It’s show time!” bisikku pelan melihat tampilannya yang siap mengudara dengan raket bukan kaleng-kaleng dalam genggaman.
“Oke, tiga, dua, satu, action!”
Listrik padam.